Sejarah TOFI 1998

1998
Untuk persiapan tahun 1998, waktu pelatihan Olimpiade Fisika ditambah, dari dua bulan intensif menjadi tujuh bulan intensif. Ini ditujukan agar para siswa mempunyai waktu yang lebih banyak untuk berlatih eksperimen dan mengendapkan konsep-konsep fisika yang dipelajarinya. Kita harapkan dengan waktu inkubasi yang lebih lama, proses kreatif dalam olimpiade eksperimen nanti akan terjadi dengan lebih baik. Pelatihan yang lama ini juga untuk memperbanyak jam terbang siswa dalam mengerjakan soal teori. Semakin banyak soal yang dikerjakan siswa maka semakin luas pengetahuan siswa, dan diharapkan semakin banyak ide-ide untuk menyelesaikan soal-soal fisika teori nanti.
Namun, pada bulan Mei 1998 terjadi kerusuhan di Indonesia (link dengan guntingan koran atau artikel dari kerusuhan Mei 1998 cukup 2-3 berita saja yang tidak terlalu provokatif ). Supermal Karawaci yang terletak di dekat tempat pelatihan dijarah habis-habisan oleh para perusuh. Terjadi pergantian pemerintahan. Nilai tukar rupiah sangat lemah dibandingkan dengan dolar. Satu dolar hampir sama nilainya dengan Rp. 16.000,00. Suasana sangat mencekam. Selama hampir satu bulan para siswa tidak bisa berkonsentrasi dalam pelatihan.
Apakah kami menyerah? Dalam konsep mestakung tidak ada istilah menyerah. Seberapa besar pun ombak menerjang kita, kita harus tetap berdiri tegar. Tak boleh ada kata “menyerah” keluar dari mulut kita.
Menjelang keberangkatan ke Reykjavic, Islandia, untuk mengikuti IPhO XXIX, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan memutuskan untuk tidak mengirimkan tim kecuali pihak swasta mau mensponsori keberangkatan.
Dibutuhkan dana sebesar Rp 160 juta, yang harus dicari dalam waktu dua minggu. Banyak orang yang bilang bahwa mustahil mencari sponsor dalam situasi sesulit itu. Beberapa orang menyarankan saya untuk berhenti saja mempersiapkan Tim Olimpiade Fisika Indonesia dan banting setir mencari pekerjaan lain yang lebih baik. Ada beberapa tawaran bekerja di beberapa perusahaan swasta, bahkan ada tawaran untuk kembali ke Amerika Serikat sebagai post doctoral.
Saya merenung dan merenung. Ketika merenung itu, terbayang saat-saat membuat keputusan kembali ke Indonesia di akhir tahun 1994. Waktu itu saya memutuskan balik ke Indonesia dengan tujuan menjadikan Indonesia juara dunia dalam Olimpiade Fisika Internasional (yang kemudian berkembang untuk mengembangkan sains yang asyik, mudah dan menyenangkan). Waktu itu saya berpikir kalau Indonesia menjadi juara dunia Olimpiade Fisika, maka Indonesia akan lebih dihormati oleh negara lain. SDM (Sumber daya manusia) kita akan lebih dihargai. Apalagi kalau itu bisa berlangsung terus-menerus. Kita akan lebih percaya diri. Dengan kepercayaan diri ini kita bisa maju lebih cepat lagi menjadi negara besar.
Saya bayangkan ke depan, dengan prestasi di Olimpiade Fisika ini, universitas besar seperti MIT, Harvard, Princeton, Stanford, Tokyo University, dan sebagainya tidak akan ragu-ragu lagi memberikan beasiswa bagi para siswa kita. Belajar di universitas-universitas terbaik ini akan memberikan kesempatan besar bagi siswa kita untuk mengembangkan karier sebagai ilmuwan yang hebat. Dan bukan tidak mungkin tahun 2020 akan ada peraih Nobel Fisika dari Indonesia.
Mengingat itu semua, saya putuskan untuk maju terus Saya ceritakan keputusan ini pada teman-teman, dan teman-teman mendukung bahwa kita memang harus maju terus untuk bertanding di Islandia . Begitu kami putuskan hal ini, terjadilah mestakung. Saya yang pemalu dan sungkan menghubungi sponsor-sponsor, menjadi berani untuk menelepon beberapa gubernur dan menemui beberapa konglomerat. Mestakung terjadi ketika saya ingin menelepon Gubernur Sumatera Utara, saya berhasil mendapatkan nomor kontaknya dan ajaibnya gubernur ini bersedia memberikan sumbangan sebesar USD 2000 (senilai Rp 32 juta) untuk membiayai satu dari tiga siswa terpilih yaitu Boy Tanto, yang berasal dari SMA Kalam Kudus, Pematang Siantar. Kemudian saya memberanikan diri untuk mengontak Bapak Mochtar Riady, Bapak Mahendra, dan Bapak William Suryajaya. Mereka tergerak untuk menyumbang. Mestakung terjadi lagi. Dan sisa dana yang diperlukan secara ajaib ditalangi oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadilah tim Indonesia berangkat ke Islandia.
Walaupun dalam olimpiade fisika 1998 di Islandia kita hanya mendapat 3 honorable mention namun kami mendapat pelajaran yang sangat berharga yaitu: jangan menyerah betapa pun sulitnya persoalan!
Pejuang Pahlawan Bangsa 1998:
1. Boy Tanto – SMUK Kalam Kudus Pematang Siantar
2. Barlino Effendi – SMUN 1 Binsus Manado Sulut
3. Ikhsan Ramdan – SMUN 78 Jakarta
Mereka yang juga Pejuang Pahlawan Bangsa 1998, walaupun tidak bisa bertanding di Islandia (karena faktor biaya dan lain hal) adalah:
· Dalimudin SMUN 2 Bandar lampung
· Azael Rengrengulu (alm) SMUN 3 Ambon
· Made Agus Wirawan SMUN 1 Bangli, Bali
Sie Doc