Memberi Makan Dunia Yang Kelaparan

Masalah perut merupakan problem yang esensial. Lebih dari 1 milyar penduduk bumi menderita kelaparan dan sebagian besar dari mereka berasal dari negara berpenghasilan rendah. Berhemat air bersih, pupuk dan pestisida menjadi solusi yang penting. Alam kini bertanya-tanya, sejauh mana peranan ilmu pengetahuan dalam mengamankan makanan bagi dunia masa depan?
Dimasa kini, populasi penduduk bumi telah mencapai angka 6,8 milyar. 40 tahun mendatang, jumlah itu diduga akan mencapai hingga 9,1 milyar jiwa. Sementara itu, tugas berat dipundak badan pangan sedunia FAO, sekilas tampak sederhana. Memproduksi makanan yang cukup bagi populasi dunia di tahun 2050 juga kelihatannya mudah. Namun, melakukannya dengan biaya yang wajar tentu saja akan tergantung dari riset teknologi canggih pada dibidang agrikultur. Kita tentu saja sudah tak dapat lagi mengandalkan cara konvensional.
Ya, mudah, jika kita bebas membabat lahan baru, menyebarkan lebih banyak pupuk dan pestisida serta menyedot persediaan air bersih di dalam tanah. Namun, anda tahu bahwa membersihkan ratusan juta hektar area hutan di Amerika latin dan Afrika dapat menjadi pilihan bodoh yang destruktif bagi lingkungan. Nah, tantangan inilah yang memutarbalikkan kemudahan produksi pangan menjadi dilema yang sulit diterobos. Bagaimana cara yang efektif untuk mengembangkan pertanian tanpa perlu membuka banyak lahan baru?
Apa yang kita perlukan adalah revolusi hijau yang kedua. , sebuah pendekatan baru yang dilakukan oleh anggota Royal Society dari Inggris. Revolusi ini mensyaratkan prioritas utama pada riset agrikultur. Ada kebutuhan khusus bagi varietas baru tanaman pangan yang menghasilkan lebih banyak panen, tetapi menggunakan lebih sedikit air dan pupuk. Bahkan para ilmuwan mencoba memodifikasi akarnya agar tidak menghabiskan banyak tempat didalam tanah. Dibutuhkan juga tanaman pangan yang lebih tahan panas, kekeringan dan pestisida.
Sebenarnya negara berkembang juga dapat mengaplikasikan teknologi pangan yang lebih canggih, tetapi hal ini terbentur oleh masalah klasik yaitu uang. Bayangkan saja, FAO memperkirakan bahwa tantangan 40 tahun kedepan, investasi pada lahan pangan di Negara berkembang akan menelan biaya US$ 83 milyar ! Sebagian besar uang tersebut diperlukan untuk meningkatkan infrastruktur agrikultur dari produksi hingga penyimpanan dan pemrosesan. Di Afrika, jumlah jalan raya yang sedikit menghambat produktivitas agrikultur, dan membuatnya mahal karena sangat sulit bagi petani untuk mendapatkan pupuk buatan. Agenda riset seharusnya difokuskan pada kebutuhan negara termiskin dengan sumber daya pangan yang paling sedikit, tetapi memiliki mayoritas populasi dunia.
Gotong Royong Demi Lumbung Masa Depan
Membangun kembali lahan kehidupan bagi dunia adalah pekerjaan besar. Pendekatan multidisiplin diperlukan agar para ahli biologi, agronomi, ahli ekologi, petani, pakar sosial dan politisi pembuat kebijakan bergotong royong untuk mencegah kelaparan hebat pada anak cucu kita.
Konferensi global dari riset agrikultur di Montpellier, Perancis diselenggarakan untuk mengagendakan riset dan penelitian yang berharga untuk para perani dari negara-negara yang miskin. Nah, disinilah peran para pakar sosial dan politisi diperlukan. Negara-negara maju diharapkan untuk menyediakan ilmuwan-ilmuwan kompeten dalam riset agrikultur ini.
Sektor swasta juga memiliki peran yang tak kalah penting karena mayoritas penelitian dibidang agrikultur ini dipegang oleh sektor swasta. Di masa lalu, bioteknologi pertanian sektor ini hanya berfokus pada pasar negara maju. Kini, untuk mengantisipasi krisis pangan dimasa depan, sektor swasta diharapkan untuk mulai memperluas pasar bagi kebutuhan panen dinegara miskin.
Lapar Karena Miskin
Walaupun sudah begitu banyak penemuan dibidang agrikultur, kemajuan ilmu pengetahun dan teknologi tetap bukanlah obat mujarab bagi kelaparan dunia.Akar masalahnya bukan pada kurangnya produksi pangan, tetapi pada kemiskinan. Dunia masa kini sebenarnya memiliki stok makanan yang cukup banyak, tetapi lebih dari 1 milyar jiwa menderita kelaparan karena mereka tidak punya uang untuk membeli makanan.
Makanan dan Masalahnya
Walaupun kelaparan dunia telah menjadi masalah utama, masih banyak alasan dan dugaan yang perlu kita ketahui mengenai hal ini. Berikut ini adalah analisa dari majalah nature tentang tren dan tantangan dalam memberi makan 9 milyar mulut di tahun 2050.
- Belahan Dunia Yang Paling Lapar
Pada tahun 2009, lebih dari 1 milyar jiwa menderita malnutrisi, bukan karena tidak cukup makanan, tetapi karena mereka terlalu miskin untuk membelinya. Ironisnya, 30% makanan di dunia terbuang setiap tahunnya. Walaupun, masyarakat sub gurun Sahara di Afrika yang memiliki tingkat kelaparan tertinggi, mayoritas angka penduduk yang menderita kekurangan gizi ini sebenarnya ada di Asia.
- Angka Kelaparan Tak pernah menurun
Persentase orang-orang yang lapar di negara berkembang menurun sejak dekade ini, tetapi angka real dari kelaparan dunia terus meningkat tajam.
- Bukan Karena Ledakan Populasi
Para ilmuwan telah lama khawatir bila ledakan populasi akan mendatangkan stres bagi produksi pangan dunia. Namun kenyataannya, populasi tidak akan bertambah terlalu pesat karena di zaman modern ini, jumlah anggota keluarga akan lebih kecil dan rata-rata hanya memiliki dua anak saja. Walaupun, populasi meningkat, kapasitas kalori per orang juga kan meningkat, artinya kemampuan untuk memproduksi pangan akan meningkat pula. Produksi pangan di dunia masa depan akan leih mudah, tetapi bagian tersulitnya adalah melakukannya tanpa banyak menghabiskan sumber daya alam dan persediaan air bersih di permukaan bumi.
- Bukan Karena Tanah
Kita sebenarnya masih punya banyak tanah untuk dijadikan lahan pertanian. Kebanyakan lahan tersebut masih tersedia di Amerika Latin dan Afrika. Namun, Royal Society dari Inggris mempertanyakan solusi ini karena akan banyak merusak ekosistem dan keanekaragaman mahkluk hidup. Inilah letak dilemanya.
- Semua ini Tentang Seni Berhemat
Banyak negara-negara mencapai target produktivitas hanya dengan mengembangkan teknologi yang sudah ada. Namun, semua ini tetap akan jadi bumerang bila kita tak pernah belajar berhemat. Penghematan ini meliputi pengurangan pemakaian cadangan air bersih, pupuk, dan pestisida. Investasi masyarakat atas riset dibidang pertanian juga merupakan hal krusial yang harus dilakukan agar lahir riset-riset baru yang lebih banyak menghasilkan penemuan di bidang teknologi hijau.
Akhir kata dari seluk beluk kelaparan hasil analisa para ilmuwan ini, alangkah baiknya kita memetik pelajaran yang berharga. Penghematan terkecilpun dapat membawa dampak yang besar bagi dunia. Marilah memanfaatkan sumber daya yang ada sebijak mungkin karena inilah solusi paling ilmiah yang dapat anda lakukan bagi planet tercinta ini.
http://www.nature.com/news/2010/100728/full/466546a.html
http://www.nature.com/news/specials/food/index.html
http://www.nature.com/nature/journal/v466/n7306/full/466531a.html