Show More
Menu
Image
Prof. Yohanes Surya, Ph.D.

APhOIJSOIPhOKelas SuperTOFIWoPhO

Bahaya Epidemi Mengancam Kelelawar

January 2, 2023
By Admin
0 Comments
Post Image

Baru-baru ini, wabah penyakit telah mengancam kelangsungan hidup populasi hewan-hewan yang berperan penting dalam penyerbukan tanaman pangan seperti kelelawar, lebah madu dan kaum amfibi. Para ilmuwan khawatir penyakit maut ini akan menempatkan spesies hewan-hewan ini dalam posisi terancam punah.

Dari semua jenis epidemi, yang paling menghebohkan adalah serangan jamur Geomyces destructans yang lebih dikenal dengan sebutan sindrom hidung putih. Wabah ini disinyalir telah menghabisi populasi spesies kelelawar abu-abu. Penyakit ini sangat berbahaya, tingkat kematiannya hampir mencapai 100%. Pada saat yang bersamaan, insiden kematian massal juga melanda lebah madu. Kemudian spesies jamur lainnya, Batrachochytrium dendrobatidis,menyapu habis 200 spesies kodok di seluruh dunia.

“Tampaknya hewan-hewan ini mengalami stres berat sehingga mereka mudah ditaklukkan penyakit,” Rob Mies, direktur eksekutif dari organisasi konservasi kelelawar memaparkan, “Masalah menjadi lebih kompleks sejak munculnya wabah penyakit ini. Tak mungkin hanya satu, pasti ada begitu banyak faktor penyebab kemunculannya.”

Faktor pertama tentu tak lepas dari peran manusia. Mobilisasi yang tinggi telah menyebabkan bibit jamur patogen menyebar. Menurut para ahli dari U.S. Fish & Wildlife Service, penyakit ini dapat ditularkan dari manusia pada kelelawar.

“Beberapa gua tempat bangkai kelelawar ditemukan terletak sangat dekat dengan wilayah pariwisata yang banyak dikunjungi turis,” ujar Mies lagi. “Seseorang mungkin saja mengunjungi gua di Eropa dengan memakai sepatu boot dan kemudian kembali dengan membawa bibit jamur yang menempel di sepatunya.”

Ia menjelaskan bahwa jamur pembawa maut tersebut sangat sensitif terhadap panas tubuh sehingga tidak menginfeksi manusia dan hewan-hewan kebanyakan. Namun, kelelawar memiliki sushu tubuh yang lebih rendah ketika hibernasi sehingga memberi celah jamur ini untuk masuk.

“Jamur parasit tersebut tak hanya memakan kulit kelelawar, tetapi juga melubanginya,” ujar Miles dengan nada prihatin, “Yang lebih mengerikan adalah pertumbuhan jamur jenis ini bahkan dapat menggantikan seluruh kulit kelelawar.”

Sementara itu menurut ahli biologi Vance Vredenburg dari San Francisco State University, jamur juga menyerang kulit binatang amfibi sehingga kulit seekor kodok dapat menjadi 40 kali lebih tipis dari biasanya. Karena kodok menggunakan kulitnya untuk menyerap air dan mineral penting, infeksi ini sering kali menyebabkan kematian.

Faktor manusia lainnya yang telah turut menjadi penyebab bencana epidemi pada hewan-hewan ini adalah penggunaan pestisida. Bahan kimia yang tak sengaja terserap lewat kulit, perubahan iklim dan kehilangan habitat telah menurunkan kesehatan dan kekebalan tubuh mereka sehingga rentan terhadap serangan virus dan mikroba.

Menghadapi epidemi ini, kita tidak bisa berpangku tangan. Baik lebah madu maupun kelelawar sangat penting bagi pertanian. Kelelawar selain membantu penyerbukan, mereka juga menjadi predator hama serangga dan nyamuk. Begitu juga dengan kodok.

Lembaga U.S.Fish & Wildlife Service kini telah merancang rencana nasional untuk menangani epidemi ini. Segala tindakan medis seperti diagnosis, manajemen penyakit, dan obat-obatan anti jamur yang baru sedang dikembangkan untuk melindungi hewan-hewan yang malang ini. Mies berharap uji coba obat-obatan dapat dilakukan dengan cepat, sebelum masa kelelawar selesai hibernasi sehingga spesies mereka dapat terselamatkan.

Pada akhirnya yang tak kalah penting adalah mendidik masyarakat agar sadar lingkungan. Selama ini lebah madu, kelelawar dan kodok memang tidak pernah digembar-gemborkan sebagai hewan yang harus dilindungi, tetapi ini saatnya kita menyadari bahwa hewan-hewan ini memiliki peran yang sangat penting dalam agrikultur, untuk memastikan persediaan pangan di muka bumi ini tetap ada.

http://news.discovery.com/animals/bat-bee-frog-deaths-linked-120601.html#mkcpgn=rssnws1

 

Leave a reply